Pengertian Ijtihad, Hukum, Syarat, Fungsi dan Jenisnya

 Pengertian Ijtihad, Hukum, Syarat, Fungsi dan Jenisnya 

 Munculnya berbagai aliran seperti Islam liberal, fundamental, ekstremis, moderat dan lain sebagainya, perbedaan-perbedaan mazhab dalam hukum Islam itu dikarenakan dari sebuah ijtihad.

Namun pada kenyataanya Kemunculan berbagai Aliran Islam, justru menyebabkan berbagai konflik pro kontra atas pemahaman - pemahaman yang di nilai paling benar.

Terlepas dari pro kontra itu semua tidak lepas dari hasil ijtihad para Ulama dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang terbaik.

Jika kita pahami dengan seksama, Justru dengan adanya ijtihad, Islam menjadi Agama yang dinamis, fleksibel sesuai dengan dinamika perubahan zaman.

Dengan ijtihad pula, syariat Islam sebagai solusi dalam menghadapi problematika kehidupan yang kian kompleks.

Dengan demikian sesungguhnya ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-dalil agama, yaitu al-Qur’an dan al-hadis dengan jalan istinbat para Ulama.

Untuk itu mari kita pelajari bersama, Apa, Bagaimana, Syarat, Fungsi dan Jenis dari ijtihad.

pengertian Ijtihad

Berikut adalah Pengertian Ijtihad, Hukum, Syarat, Fungsi dan Jenisnya yang akan kami kupas secara lengkap.

Istilah ijtihad sendiri berasal dari kata al juhd yang memiliki arti daya, kemampuan atau kekuatan. Sementara sumber lain menyampaikan al jahd berarti al masyaqqah atau kesulitan dan kesukaran.

Lantas apa sebenarnya pengertian ijtihad beserta hukum, syarat, fungsi dan jenisnya? 

Menurut DR. Nasrun Rulis pada konsep Ijtihad Al-Shaukani di halaman 73 menyampaikan bahwa istilah ini mengarah kepada segala daya dan kemampuan pada suatu aktivitas dari aktivitas berat dan sukar.

Bahasa Arabnya sendiri yakni Ijtihada Yajtahidu Ijtihadan dalam menanggung semua beban. 

Ijtihad dalam agama Islam sendiri merupakan sumber hukum ketiga sesudah Al Quran dan Hadits. Fungsi utamanya yakni guna menetapkan sebuah aturan dimana hal tersebut tidak dibahas dalam keduanya. Pelaksananya biasa disebut dengan sebutan Mujtahid. 

Salah satu contoh pelaksanaan dari Ijtihad ialah ketika proses penentuan 1 Ramadhan serta 1 Syawal, dimana banyak ulama akan berdiskusi bersama-sama untuk menentukan kapan pelaksanaan secara tepatnya. Mereka saling berpendapat meskipun diketahui terdapat lebih dari satu pendapat. 

Dalil Hukum Dasar dari Ijtihad 

Dalil Dalil pelaksanaan Ijtihad sangatlah banyak, baik dari pernyataan yang jelas(sarih) maupun berdasarkan isyarat, Salah satu contoh adalah firman Allah SWT dalam QS An-Nissa :150

Yang Artinya :

Sessungguhnya, Kami telah menurunkan Al kitab kepadamu dengan membawa kebenaran supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Allah Wahyukan kepadamu (QS :An Nissa:150).

Jadi ada beberapa dasar hukum yang diharuskan pada saat menentukan ijtihad. Pertama yakni Al Qur’an dimana semua keputusan perlu dikembalikan lagi kepada firman Allah ketika suatu aturan tidak ditemui di Qur’an maupun Al Hadits. Berikut beberapa diantaranya:

1. Al Qur’an

Pertama adalah Al Qur’an pada surat An Nisa ayat 59.

Yang artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul(Nya) dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika berlainan tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah” 

Firman Allah yang lain juga menyebut “Maka ambillah ibarat, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan” di surat Al Hasyr ayat kedua. Jadi orang-orang ahli akan memahami dan merenungkan untuk mengambil sebuah perumpamaan ketika mereka diharuskan untuk berijtihad. 

2. Al Hadits 

Kata-kata Nabi SAW yaitu “Ijtihadlah kamu, karena setiap orang akan mudah mencapai apa yang ditujukan kepadanya”. Hadits lainnya juga menyebut bahwa “hakim apabila berijtihad lalu dapat mencapai kebenaran maka mereka memperoleh dua pahala”. 

Kedua pahala tersebut yakni telah melakukan ijtihad dan kedua yaitu atas kebenaran hasilnya. Keputusan yang tidak memperoleh hasil benar, maka hanya akan memperoleh satu kebaikan saja (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim). 

3. Ijmak 

Umat Muslim dan beberapa mudhabnya sudah sepakat atas dianjurkan dalam melakukan ijtihad dimana harus dipraktikkan secara benar. Buah dan hasilnya adalah hukum fiqih yang cukup kaya dimana akan diturunkan para mujtahid dari sejak dulu hingga saat ini. 

Banyak perkara yang sampai saat ini tidak memiliki nash dan menuntut adanya ijtihad agar dapat menjelaskan hukum secara sahnya. Jadi syariat Islam perlu menetapkan semua aturan untuk hamba Allah dengan melakukan hal ini jika tidak memiliki jalan lain. 

4. Qiyas

Fungsi dan Manfaat dari Ijtihad 

Ijtihad memiliki beberapa fungsi yang mampu membantu manusia untuk menemukan solusi hukum suatu permasalahan dimana masih belum ada dalilnya pada Al Qur’an dan juga Hadits. Sementara tujuannya yakni memenuhi kebutuhan umat Muslim dalam rangka beribadah pada Allah. 

Ijtihad sendiri sudah dianggap memiliki kedudukan penting dalam Islam meskipun tidak boleh dilakukan oleh orang-orang secara sembarangan.

Beberapa manfaatnya yakni umat Muslim bisa mengetahui sumber hukum dari suatu masalah ketika mereka sedang menghadapi suatu permasalahan, contoh untuk Menentukan Hukum serta Adab dalam urusan Hutang

Ijtihad juga berfungsi untuk menyesuaikan hukum yang sedang berlaku dalam Islam agar sesuai dengan perkembangan zaman, keadaan masyarakat dan perubahan waktu. Umat Muslim juga akan terbantu untuk menetapkan dan menentukan fatwa dari suatu masalah terkait halal dan haram. 

Syarat-Syarat Ijtihad / Mujtahid

ijtihad

Syarat-syarat ijtihad ini perlu diketahui oleh para mujtahid atau yang menetapkan hukumnya. Jadi penentuan hal ini tidak bisa dilakukan secara sembarangan meskipun seseorang tersebut diketahui sudah ahli dalam ilmu agama. Berikut beberapa diantaranya: 

1. Mengetahui Isi Qur’an dan Hadits 

Para mujtahid ini harus mengetahui isi Al Qur’an dan Hadits yang bersangkutan dengan hukum tersebut meskipun tidak perlu menghafalnya di luar kepala. Hal ini menjadi kewajiban mereka ketika perlu menetapkan suatu fatwa baru mengingat harus dikaitkan dengan sumber terpercaya dan terdahulu. 

Tidak hanya mengetahui isinya saja, para mujtahid ini harus memahami apa sebenarnya isi dari Al Quran dan hadits tersebut. Hal tersebut diperlukan untuk menghindarkan dari penentuan hukum yang kurang akurat atau bahkan berasal dari orang-orang belum mumpuni dan terpercaya. 

2. Mengetahui Bahasa Arab

Beberapa cara dalam mengetahui isi Al Qur’an dan Hadits yakni dengan mengetahui penggunaan bahasa Arab meskipun lewat berbagai metode. Beberapa alat yang digunakan adalah Bayan, Ma’ani, Shorof, Nahwu dan Bad’I atau lainnya lagi.

Kemampuan dalam mengetahui bahasa Arab ini berfungsi agar para mujtahid ini benar-benar dipastikan mampu memahami isi dari Al Qur’an dan al Hadits dengan tepat. Mereka pun bisa dipastikan memiliki kemampuan berpikir secara realistis tanpa terpengaruh secara subjektif. 

3. Memahami Ilmu Fiqih dan Qaidahnya 

Ilmu fiqih ini bisa dikatakan sebagai dasar yang perlu dikuasai sebelum melakukan sebuah ijtihad. Jadi calon mujtahid harus benar-benar menguasai ilmu ini sekaligus dengan qaidahnya sehingga mereka memiliki bekal ketika berijtihad. 

Tidak hanya menguasai ilmu fiqih saja, para mujtahid juga harus memahami soal-soal Ijma’ sehingga menghindarkan terjadinya perbedaan pendapat. Banyaknya komentar dan kritik tentu saja diperoleh ketika sedang menentukan ijtihad. 

4. Mengetahui Nasikh Mansukh, Ilmu Riwayat dan Rahasia Syar’I 

Para mujtahid ini harus mengetahui nasikh Mansukh yang berasal dari Al Qur’an dan Hadits. Mereka juga perlu memahami apa saja ilmu riwayat sekaligus mampu membedakan tingkatan As Sunnah mulai dari sahih, hasan, dhoif, maqbul dan mardud. 

Mujtahid juga harus mengetahui rahasia tasyri’I atau bisa disebut dengan Asrarusy Syari’ah. Istilah ini mengarah pada qaidah-qaidah dimana menerangkan tujuan syara’ dalam menempatkan beban taklif pada mukallaf.

Ijtihad memiliki kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah alQur’an dan hadis. Ijtihad dilakukan jika suatu persoalan tidak ditemukan hukumnya dalam al-Qur’an dan hadis. Namun demikian, hukum yang dihasilkan dari ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an maupun hadis. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw :

Artinya :

“Dari Mu’az, bahwasanya Nabi Muhammad saw. ketika mengutusnya ke Yaman, ia bersabda, “Bagaimana engkau akan memutuskan suatu perkara yang dibawa orang kepadamu?” Muaz berkata, “Saya akan memutuskan menurut Kitabullah (al-Qur’an).” Kemudian Nabi berkata, “Dan jika di dalam Kitabullah engkau tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?” Muaz menjawab, “Jika begitu saya akan memutuskan menurut Sunnah Rasulullah saw.” Kemudian, Nabi bertanya lagi, “Dan jika engkau tidak menemukan sesuatu hal itu di dalam sunnah?”
Muaz menjawab, “Saya akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (ijtihadu bi ra’yi) tanpa bimbang sedikitpun.” Kemudian, Nabi bersabda, “Maha suci Allah Swt. yang memberikan bimbingan kepada utusan Rasul-Nya dengan suatu sikap yang disetujui Rasul-Nya.” (H.R. Darami).

Pembagian Hukum Islam

Para ulama membagi hukum Islam ke dalam dua bagian, yaitu hukum taklifi dan hukum wad’i. Hukum taklifi adalah tuntunan Allah Swt. yang berkaitan dengan perintah dan larangan. Hukum wad’i adalah perintah Allah Swt. yang merupakan sebab, syarat, atau penghalang bagi adanya sesuatu.

Hukum Taklifi

Hukum taklifi terbagi ke dalam lima bagian, yaitu sebagai berikut.

a. Wajib (farḍu)

Hukum Wajib, yaitu suatu aturan Allah Swt. yang harus dikerjakan, dengan konsekuensi bahwa jika dikerjakan akan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan akan berakibat dosa. Pahala adalah sesuatu yang akan membawa seseorang kepada kenikmatan (surga), sedangkan dosa adalah sesuatu yang akan membawa seseorang ke dalam kesengsaraan (neraka). contoh , perintah wajib salat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya. 

b. Sunnah (mandub)

Hukum sunnah yaitu, sebuah tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan, atau meneladani kebiasaan Rasulullah SAW, jika mengerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan karena berat untuk melakukannya tidaklah berdosa.

Misalnya ibadah salat rawatib, puasa Senin-Kamis, dan lain sebagainya. 

c. Haram (taḥrim)

Haram yaitu sebuah larangan untuk mengerjakan suatu pekerjaan atau perbuatan. Konsekuesi dari hukum haram adalah jika larangan tersebut dilakukan akan mendapatkan pahala, dan jika tetap dilakukan akan mendapatkan dosa dan hukuman.

Akibat dari mengerjakan larangan Allah Swt ini, dapat langsung memperoleh hukuman di dunia, dan nanti di akhirat.

Hukum haram mengena pada larangan meminum minuman keras/narkoba/khamr, larangan berzina, larangan berjudi, dan sebagainya. 

d. Makruh (Karahah), yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan. Makruh artinya sesuatu yang dibenci atau tidak disukai. Konsekuensi hukum ini adalah jika dikerjakan tidaklah berdosa, akan tetapi jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Misalnya, mengonsumsi makanan yang beraroma tidak sedap karena zatnya atau sifatnya. 

e. Mubaḥ (al-Ibaḥaḥ), yaitu sesuatu yang boleh untuk dikerjakan dan boleh untuk ditinggalkan. Tidaklah berdosa dan berpahala jika dikerjakan ataupun ditinggalkan. Misalnya makan roti, minum susu, tidur di kasur, dan sebagainya.

Hukum wadh’I

Hukum Wadh'i ialah, firman Allah yang berbentuk ketentuan yang menjadikan sesuatu sebagai sebab atau syarat atau halanganb dari suatu ketetapan hukum taklifi.
contoh nya Khitab Allah swt. yang Menunjukan Sesuatu Menjadi Sebab yang Lain Allah swt berfirman dalam Surah al-Isra’ Ayat 78.


Yang Artinya :

"Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir." (QS. Al-Isra`: 78).

Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa condongnya matahari menjadi al-sabab adanya kewajiban salat dzuhur.

Jenis-jenis Ijtihad

Ijtihad sendiri dibedakan menjadi 7 jenis.

Pertama Ijma’ yakni suatu kesepakatan para ulama untuk menetapkan hukum agama Islam berdasar Qur’an dan Hadits terkait sebuah perkara.

Kedua yakni Qiyas adalah penetapan terhadap masalah baru dimana belum pernah ada sebelumnya. 

Ketiga Maslahah Mursalah merupakan cara menetapkan hukum berdasar pertimbangan kegunaan dan manfaat.

Keempat Sududz Dzariah adalah pemutusan aturan atas hal-hal yang bersifat mubah, makruh ataupun haram guna mementingkan kepentingan umat. 

Kelima Istishab adalah penetapan hukum sampai ada alasan untuk mengubahnya.

Keenam Urf merupakan pemutusan bolehnya sebuah adat istiadat dalam masyarakat.

Ketujuh yakni istihsan ialah tindakan meninggalkan satu aturan demi peraturan lainnya sebab adanya dalil syara’.

Kesimpulan :

Ijtihad dapat diberlakukan dalam permasalahan yang tidak dijelaskan dalam Nash Al-Quran dan Hadits, atau di jelaskan dalam al quran namun tidak qath'iy (pasti).

Dan sebaliknya, Ijtihad tidak dapat dilakukan pada Hukum yang mempunyai Nash ( Hukum yang kebenaranya tidak diragukan).

Penutup :

Pengertian Ijtihad bisa diartikan sebagai bagaimana para ulama menentukan hukum dari sebuah perkara dimana tidak dijumpai di Al Qur’an dan Al Hadits. Penentuannya pun perlu memperhatikan beberapa syarat demi kebenaran keputusan yang dihasilkan oleh seluruh umat Muslim semuanya.

Demikian tadi pembahasan lengkap pengertian ijtihad, semoga menambah pemahaman dan bermanfaat bagi semua, aamiin.

0 Response to "Pengertian Ijtihad, Hukum, Syarat, Fungsi dan Jenisnya "

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel